Kamis, 14 Februari 2013

Perjalanan

Dear Gadis yang Sedang Dalam Perjalan;
Asri Indriyani dan saya lebih suka memanggilmu: Mbak, meski kita seumuran,

Hai. Ah, bagaimana aku mengawali surat ini. Kata-kata yang telah kusipakan, sepertinya lepas dan beterbangan di langit luas, tak membiarkanku menangkapnya kembali.

Beberapa hari yang lalu, kamu memintaku untuk membuat sebuah surat untukmu. Ah, aku benar-benar tak bisa membuat surat. Sudah kucoba berkali-kali, tapi tak kunjung berhasil. Aku tak bisa menuliskan surat seperti yang sering kau baca di #30HariMenulisSuratCinta-nya @PosCinta. Sungguh! Aku cuma ingin mengajakmu (jika mau, sih) menyanyikan dua buah lagu untukku. Mau?

Kulayangkan pandangku melalui kaca jendela
Dari tempatku bersandar seiring lantun kereta
Membawaku melintasi tempat-tempat yang indah
Membuat isi hidupku penuh riuh dan berwarna
Kualunkan rinduku selepas aku kembali pulang 
Tak akan kulepaskan dekapku 
Karena kutahu pasti aku merindukanmu 
Seumur hidupku selama-lamanya

 Aku tahu, ini kali pertama kamu menempuh perjalalan jauh untuk waktu yang (sudah) cukup lama. Perjalanan yang membawamu ke tempat-tempat baru, pergaulan baru, gaya hidup baru, dan segala yang belum pernah kamu alami dan dapatkan sebelumnya. Perjalanan yang membawamu melintasi waktu, jauh dari mereka yang kau cinta. Perjalanan yang selalu berhasil memainkan emosi dan perasaanmu, menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran tak berkesudahan. Perjalanan melelahkan yang kerap menghadirkan rindu yang mendalam: pulang.

Perjalanan inipun kadang merampas bijak hatiku
Sekali waktupun mungkin menggoyahkan pundi cintaku 
Menetaskan setiaku .. menafikan engkau disana 
Maafkanlah aku, cepat ku kembali

Sepandai-pandainya kamu menjerat dan menyembunyikan rindu, meskipun sedikit, itu akan terlihat jelas. Hingga suatu saat nanti, rindu itu tak bisa kamu tutupi. rindu itu menjelma air mata yang menyusuri sudut-sudut terdalam pipi gembilmu. Air mata yang meretas jalan untuk pulang.

Kutautkan hatiku .. kuikrarkan janji .. 
Kubawa pulang diriku hanya untukmu 
Kusanjungkan mimpi-mimpi hangati malam 
Rindu ini membakar hatiku 
Kuakan kembali pulang ..Kuakan kembali pulang
(Padi - Perjalanan Ini)

 Pulang, bukan pula perkara mudah. Mungkin, kau harus menautkan hati dalam janji, membiarkannya terbakar rindu, dan nyeri kan menggerogoti waktu.


Well, you built up a world of magic  
Because your real life is tragic  
Yeah, you built up a world of magic
 
If it's not real, you can't hold it in your hand 
You can't feel it with your heart  
And I won't believe it
 
But if it's true, you can see it with your eyes  
Oh, even in the dark  
And that's where I want to be, yeah

Mungkin kamu pernah beranggapan, rindu itu begitu tragis, hingga kamu harus berbuat sesuatu untuk mengenyahkannya: membuat dunia yang magis. Ya, dunia magis. Tentu saja kamu bisa dengah mudah membuat dan memeliharanya, lewat aksara dan doa. Kamu akan menggenggam dan merasakan dunia magis itu, yang akan menuntunmu dalam pekat rimbun rindu.


Go get your shovel  
And we'll dig a deep hole  
To bury the castle, bury the castle
Go get your shovel 
And we'll dig a deep hole 
To bury the castle, bury the castle
 (Paramore - Brick by Boring Brick)

Mungkin, kamu harus membuat lubang yang dalam untuk menguburkan kastil-kastil kenangan yang selalu membuat rindumu tumbuh meraja, membuat hati kian tersiksa. Mengubur bukan berarti melupakan dan melenyapkan. Sewaktu-waktu, kau dapat menggalinya kembali dan menjadikannya penghias kamar dalam rongga dadamu.

Ah, kiranya aku gagal membuat surat untukmu.



Salam,

You-Know-Who


Selasa, 05 Februari 2013

Tahu Diri

"Omong doang sih gampang"
"Emang kamu pernah ngerasain apa yang aku rasain? Jangan kebanyakan omong deh!"

Banyak kalimat umpatan sejenis yang saya temukan di sosial media dalam menanggapi status maupun kicauan para motivator di dunia maya. Membaca umpatan mereka, saya cuma bisa mengerutkan kening. Saya merasa tidak pantas saat mau mengomentari mereka, meskipun menurut saya, umpatan yang demikian tidaklah sopan. Menurut saya, lho.

Ketika ada yang ngomong di sosial media: "Ayo perbanyak sedekah", "Ayo shalat Dhuha dulu!", ada saja yang berkomentar miring: "Emang situ udah sedekah berapa banyak?", "Emang situ udah nggak bolong shalat Dhuhanya?". Bukankah jika kita tidak suka dengan ajakan tersebut, lebih baik kita diam dan mengabaikannya? Bukankah jika kita mengakui kebenarannya, lebih baik kita melihat lebih dalam ke jiwa kita? Sudahkah kita seperti itu?

Ah, saya jadi ingat dengan apa yang pernah saya lakukan sekitar setahun yang lalu. Dulu, saya sering mengirimkan SMS kepada teman-teman saya yang berisi kutipan buku, ayat-ayat dari Kitab Suci, quotes dari tokoh-tokoh dunia, dan sejenisnya. Maksud saya cuma ingin membagikan ilmu yang saya dapat dan menurut saya ilmu itu bersifat positif, meski saya belum dapat atau dalam proses belajar mengaplikasikannya dalam kehidupan saya. Ada teman yang merespon positif, ada yang kemudian mengajak saya diskusi tentang apa yang saya SMS-kan, dan ada pula yang entah merespon entah tidak terhadap SMS saya itu (karena mereka tidak membalas SMS saya itu, hehe).

Namun, setelah saya membaca komentar-komentar negatif yang saya temukan di sosial media (dan tentunya mereka tidak mengomentari saya), agaknya saya harus tahu diri. Sejak saat itu, saya tidak lagi mengirimkan SMS-SMS semacam itu karena saya takut menjadi orang yang omong doang, ngelakuin kagak. Atau setidaknya saya masih belajar melakukannya, jadi saya merasa belum pantas mengirimkan SMS-SMS seperti itu.

Pasca berhentinya saya mengirimkan SMS itu, ada beberapa teman yang SMS: "Kak, kangen SMS motivasi darimu. Kok sekarang udah nggak SMS gituan lagi sih?", "Pak, kasih aku motivasi dong!", dsb. Saya jadi serba salah. Mau mengirimkan lagi, kok saya juga masih belajar melakukannya, merasa belum pantas: saya bukan motivator, saya bukan orang yang telah mengukir prestasi, saya bukan ustaz, saya hanyalah remaja labil yang ingin berbagi ilmu. Mau tidak, kok ada yang mengaharapkan saya mengirimkannya lagi. Akhirnya saya mengambil keputusan untuk berhenti dulu.

Dan ini berdampak pada saya saat saya belajar menulis. Ingin rasanya saya berbagi pelajaran kehidupan dalam tulisan yang saya buat. Tapi bagaimana jika dalam realitasnya, saya baru belajar mengaplikasikannya, atau malah saya belum melakukannya sama sekali (tapi saya menganggap pelajaran itu baik)? Salahkah saya untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dalam kondisi saya yang seperti itu? Pantaskah? Salahkah? Bagaimana saya harus tahu diri?

Ah, sebenarnya saya malu mem-publish curhatan galau saya ini. Saya rasa cuma luapan kelabilan saya yang tak bermanfaat bagi pengunjung blog saya. Jadi, maafkan saya jika Anda kecewa telah membaca tulisan saya yang satu ini. :)

Senin, 04 Februari 2013

Silinder Berapi

Tidak seperti hari-hari biasanya, cuaca hari ini begitu panas. Keringat membanjiri setiap sudut badanku, memaksaku harus mengelap wajahku berkali-kali dengan punggung tangan. Di sekelilingku, tampak rumah-rumah kecil yang terbuat dari papan seadanya yang dikombinasikan dengan kardus. Jalanan becek, penuh genangan sisa hujan semalam membuatku harus lebih berhati-hati menggerakkan langkah kaki. Sejauh mata memandang, sampah bertebaran dimana-mana, menampung air tempat bersarang jentik-jentik nyamuk dan berbagai bakteri.

Langkah kakiku semakin berat. Matahari telah menyedot hampir semua energiku yang tersisa dengan panasnya yang menjadi-jadi, membuat kerongkonganku begitu ingin dibasahi dengan seteguk-dua air dingin. Kuedarkan pandang ke sekeliling. Sepi. Hanya ada beberapa wanita yang sebagian besar sudah berusia lanjut sedang bergumul dengan botol-botol bekas minuman. Selebihnya satu-dua anak dengan pakaian kusam yang bermain di jalanan yang becek.

Kulangkahkan kaki ke sebuah warung kecil di antara rumah-rumah kardus itu. Ibu penjaga warung yang sedang hamil menyambutku dengan senyuman yang agak dipaksakan.

"Mau makan apa, Mas?" tanyanya.

"Minum saja, Bu. Es teh ada?"

"Ada. Sebentar, aku buatin dulu."

Uhuk uhuk
Ternyata di sudut warung ada seorang bapak tua sedang menghisap rokoknya kuat-kuat. Di hadapannya, secangkir kopi hitam mengepulkan beraroma. Sekilas aku meliriknya, dia menyeringai kepadaku. Rambutnya yang sudah memutih tampak sangat berantakan. Giginya yang kuning-kehitaman tampak menyatu dengan kulitnya yang berwarna cokelat tua.

"Ini es tehnya, Mas." Ibu penjaga warung mengagetkanku yang tengah mengamati bapak tua itu.

"Oh ya, Bu. Terima kasih."

"Woy, sini kau!" Bapak tua itu berteriak sambil melambaikan tangan kepada seseorang di luar sana. Seorang perempuan tua dengan kaki pincang berjalan tergopoh-gopoh mendekati bapak tua itu.

"Mana hasil mengemismu?" bentak bapak tua itu. Perempuan itu mengeluarkan sejumlah uang koin dari plastik yang disimpannya dalam gendongan, lalu menyerahkannya kapada bapak tua.

"Cuma segini? Keluarkan semua!" bentak bapak tua itu lagi. Bola matanya menyembul seakan siap menghabisi nyali perempuan tua di hadapannya. "Ayo cepat keluarkan!"

Perempuan itu menggeleng, lalu menggerak-gerakkan tangannya. Tampaknya dia tunawicara. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir keringnya.

Plaakk!!!
Tangan bapak tua melayang, lalu mendarat di tubuh ringkih perempuan itu hingga tersungkur jatuh menimpa genangan air di jalanan.

"Segini doang? Buat beli rokok aja tidak cukup! Seharian kamu pasti bermalas-malasan. Kau sudah berani melawanku. Hah?"

Bapak tua itu terbatuk, lalu melemparkan silinder berapi yang sejak tadi ia hisap ke tubuh perempuan tua yang masih tersungkur di tanah. Aku hanya bisa menggigit bibir melihatnya. Kubayarkan es teh yang belum sempat kuminum, lalu beranjak dari warung. Aku tak tahan melihat perlakuan kasar bapak tua yang menyimpan racun dan api dalam kepalanya terhadap perempuan tunawicara itu. Pun tak punya cukup keberanian untuk mencampuri urusan mereka. Ah, aku memang terlalu pengecut!

Rantai Tanya

telepon berdering nyaring melengking
di sekujur tempat baru untuk berbaring
"ada yang datang" kata tanda tanya saling kait terasing
awan hitam menyembul di merdu suara patah ranting kering

helai-helai mahkota bunga menutup keheningan
pada mata dan wajah terbalut kehilangan
tanda tanya itu semakin erat terkait ingatan
topeng tawa, formalitas, ataukah kelam kepedihan

rantai tanya mengait erat
huruf-huruf sekarat
mencoba mempertahankan surat
pada dinding-dinding waktu sarat khianat


04022013 --- 22:44 PM

Minggu, 03 Februari 2013

Tiga Perayaan

    : @penakecil

1/
awan hitam berlarian di ujung rambut panjangmu
bersenandung lembut merdu
tentang segala pilu sendu rindu

apakah tanda tanya itu selalu mengganggu?
ataukah tanda seru yang kau rayakan di setiap malam biru?
perayaan ini koma yang mengukir amsal-amsal terpadu

2/
rambut panjangmu tergerai
menyentuh tanah merah yang melandai
tentang kerontang menerjang merantai

apakah tanda tanya itu selalu kau semai?
ataukah tanda seru yang kau rayakan dengan penuh andai?
perayaan ini koma yang menghamparkan badai

3/
rambut panjangmu menjuntai warna-warni surgawi
mengawang pandang dalam gaun maknawi
tentang harap di deras sungai-sungai mewangi

apakah tanda tanya itu masih menerjang badai?
ataukah tanda seru memaksamu terkulai?
perayaan ini titik yang akan bergerak ke koma tak pernah usai


Surabaya, 03022013