Tidak seperti hari-hari biasanya, cuaca hari ini begitu panas. Keringat membanjiri setiap sudut badanku, memaksaku harus mengelap wajahku berkali-kali dengan punggung tangan. Di sekelilingku, tampak rumah-rumah kecil yang terbuat dari papan seadanya yang dikombinasikan dengan kardus. Jalanan becek, penuh genangan sisa hujan semalam membuatku harus lebih berhati-hati menggerakkan langkah kaki. Sejauh mata memandang, sampah bertebaran dimana-mana, menampung air tempat bersarang jentik-jentik nyamuk dan berbagai bakteri.
Langkah kakiku semakin berat. Matahari telah menyedot hampir semua energiku yang tersisa dengan panasnya yang menjadi-jadi, membuat kerongkonganku begitu ingin dibasahi dengan seteguk-dua air dingin. Kuedarkan pandang ke sekeliling. Sepi. Hanya ada beberapa wanita yang sebagian besar sudah berusia lanjut sedang bergumul dengan botol-botol bekas minuman. Selebihnya satu-dua anak dengan pakaian kusam yang bermain di jalanan yang becek.
Kulangkahkan kaki ke sebuah warung kecil di antara rumah-rumah kardus itu. Ibu penjaga warung yang sedang hamil menyambutku dengan senyuman yang agak dipaksakan.
"Mau makan apa, Mas?" tanyanya.
"Minum saja, Bu. Es teh ada?"
"Ada. Sebentar, aku buatin dulu."
Uhuk uhuk
Ternyata di sudut warung ada seorang bapak tua sedang menghisap rokoknya kuat-kuat. Di hadapannya, secangkir kopi hitam mengepulkan beraroma. Sekilas aku meliriknya, dia menyeringai kepadaku. Rambutnya yang sudah memutih tampak sangat berantakan. Giginya yang kuning-kehitaman tampak menyatu dengan kulitnya yang berwarna cokelat tua.
"Ini es tehnya, Mas." Ibu penjaga warung mengagetkanku yang tengah mengamati bapak tua itu.
"Oh ya, Bu. Terima kasih."
"Woy, sini kau!" Bapak tua itu berteriak sambil melambaikan tangan kepada seseorang di luar sana. Seorang perempuan tua dengan kaki pincang berjalan tergopoh-gopoh mendekati bapak tua itu.
"Mana hasil mengemismu?" bentak bapak tua itu. Perempuan itu mengeluarkan sejumlah uang koin dari plastik yang disimpannya dalam gendongan, lalu menyerahkannya kapada bapak tua.
"Cuma segini? Keluarkan semua!" bentak bapak tua itu lagi. Bola matanya menyembul seakan siap menghabisi nyali perempuan tua di hadapannya. "Ayo cepat keluarkan!"
Perempuan itu menggeleng, lalu menggerak-gerakkan tangannya. Tampaknya dia tunawicara. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir keringnya.
Plaakk!!!
Tangan bapak tua melayang, lalu mendarat di tubuh ringkih perempuan itu hingga tersungkur jatuh menimpa genangan air di jalanan.
"Segini doang? Buat beli rokok aja tidak cukup! Seharian kamu pasti bermalas-malasan. Kau sudah berani melawanku. Hah?"
Bapak tua itu terbatuk, lalu melemparkan silinder berapi yang sejak tadi ia hisap ke tubuh perempuan tua yang masih tersungkur di tanah. Aku hanya bisa menggigit bibir melihatnya. Kubayarkan es teh yang belum sempat kuminum, lalu beranjak dari warung. Aku tak tahan melihat perlakuan kasar bapak tua yang menyimpan racun dan api dalam kepalanya terhadap perempuan tunawicara itu. Pun tak punya cukup keberanian untuk mencampuri urusan mereka. Ah, aku memang terlalu pengecut!
Langkah kakiku semakin berat. Matahari telah menyedot hampir semua energiku yang tersisa dengan panasnya yang menjadi-jadi, membuat kerongkonganku begitu ingin dibasahi dengan seteguk-dua air dingin. Kuedarkan pandang ke sekeliling. Sepi. Hanya ada beberapa wanita yang sebagian besar sudah berusia lanjut sedang bergumul dengan botol-botol bekas minuman. Selebihnya satu-dua anak dengan pakaian kusam yang bermain di jalanan yang becek.
Kulangkahkan kaki ke sebuah warung kecil di antara rumah-rumah kardus itu. Ibu penjaga warung yang sedang hamil menyambutku dengan senyuman yang agak dipaksakan.
"Mau makan apa, Mas?" tanyanya.
"Minum saja, Bu. Es teh ada?"
"Ada. Sebentar, aku buatin dulu."
Uhuk uhuk
Ternyata di sudut warung ada seorang bapak tua sedang menghisap rokoknya kuat-kuat. Di hadapannya, secangkir kopi hitam mengepulkan beraroma. Sekilas aku meliriknya, dia menyeringai kepadaku. Rambutnya yang sudah memutih tampak sangat berantakan. Giginya yang kuning-kehitaman tampak menyatu dengan kulitnya yang berwarna cokelat tua.
"Ini es tehnya, Mas." Ibu penjaga warung mengagetkanku yang tengah mengamati bapak tua itu.
"Oh ya, Bu. Terima kasih."
"Woy, sini kau!" Bapak tua itu berteriak sambil melambaikan tangan kepada seseorang di luar sana. Seorang perempuan tua dengan kaki pincang berjalan tergopoh-gopoh mendekati bapak tua itu.
"Mana hasil mengemismu?" bentak bapak tua itu. Perempuan itu mengeluarkan sejumlah uang koin dari plastik yang disimpannya dalam gendongan, lalu menyerahkannya kapada bapak tua.
"Cuma segini? Keluarkan semua!" bentak bapak tua itu lagi. Bola matanya menyembul seakan siap menghabisi nyali perempuan tua di hadapannya. "Ayo cepat keluarkan!"
Perempuan itu menggeleng, lalu menggerak-gerakkan tangannya. Tampaknya dia tunawicara. Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir keringnya.
Plaakk!!!
Tangan bapak tua melayang, lalu mendarat di tubuh ringkih perempuan itu hingga tersungkur jatuh menimpa genangan air di jalanan.
"Segini doang? Buat beli rokok aja tidak cukup! Seharian kamu pasti bermalas-malasan. Kau sudah berani melawanku. Hah?"
Bapak tua itu terbatuk, lalu melemparkan silinder berapi yang sejak tadi ia hisap ke tubuh perempuan tua yang masih tersungkur di tanah. Aku hanya bisa menggigit bibir melihatnya. Kubayarkan es teh yang belum sempat kuminum, lalu beranjak dari warung. Aku tak tahan melihat perlakuan kasar bapak tua yang menyimpan racun dan api dalam kepalanya terhadap perempuan tunawicara itu. Pun tak punya cukup keberanian untuk mencampuri urusan mereka. Ah, aku memang terlalu pengecut!
gregetan aku, mas. :|
BalasHapus